Kisah Pasien yang Ingin Tampil Sempurna, namun Justru Menuai Petaka

(Sumber: Jawa Pos, Sabtu 7 Juli 2007)


Perawatan kesehatan atau kecantikan memang harus dilakukan pada dokter yang tepat. Jika salah, risikonya sangat tinggi. Hal itu dialami pasien-pasien berikut. Ada yang giginya ompong karena salah perawatan, ada pula yang tekstur wajahnya berubah.

Kasus

Jason dan Nira adalah contoh dua orang yang bermasalah karena salah prosedur perawatan gigi. Ada pula orang-orang yang bermasalah karena tergiur klinik kecantikan yang tak kapabel.


-- Kasus 1

NYERI di rahang Jason (nama samaran) memang telah berkurang. Namun, pemuda 24 tahun itu masih belum berani mengunyah makanan keras. Dia masih merasa giginya goyang dan panas.

"Saya masih harus hati-hati. Kondisi saya belum sembuh sepenuhnya," katanya ketika dihubungi via telepon. Memang, beberapa minggu ini, karyawan swasta tersebut bertugas ke luar kota.

Semua derita Jason bermula ketika dirinya ingin mendaftar sebagai polisi tahun lalu. Namun, dia sadar, dirinya bakal tak mulus untuk menjadi aparat berbaju cokelat tersebut. Sebab, giginya bermasalah. Geraham bagian belakangnya tumbuh menyamping. "Rasanya tidak nyaman. Apalagi, keduanya berlubang. Ngilu," ungkap warga kawasan Surabaya Selatan tersebut.

Demi mengenyahkan rasa sakit itu, Jason berobat ke sebuah klinik dokter gigi yang dekat tempat tinggalnya (dia menolak menyebutkan nama dan tempat klinik tersebut). Kepada dokter, dia menyatakan bahwa dirinya ingin gigi gerahamnya dicabut. Namun, kata dokter, masalahnya tak segampang itu. Menurut dokter tersebut, karena gigi itu nyelempit di belakang, harus dilakukan operasi kecil. Hari itu juga operasi dilakukan.

Alih-alih mencabut gigi yang menyamping, dokter justru mencabut gigi lain. Jason terkejut. Namun, dokter menyatakan bahwa gigi geraham depan yang dicabut tersebut tak kalah jelek daripada geraham belakang. Karena itu, gigi tersebut harus dienyahkan. Setelah itu, baru geraham belakang yang miring tersebut yang dicabut. Karena tak paham, Jason pun mengiyakan.

Setelah dua gigi dicabut, Jason disuruh pulang. Esoknya, dia harus datang lagi untuk mengoreksi gigi geraham belakang bawah sebelah kiri. Lagi-lagi, yang dicabut bukan gigi bermasalah itu. Gigi tersebut hanya ditambal. "Yang dicabut gigi di depannya," ujar pemuda yang mewanti-wanti agar jati dirinya dirahasiakan tersebut.

Tampaknya, dia masih percaya pada dokter tersebut. Terbukti, setelah tiga giginya dicabut, dirinya masih datang ke dokter tersebut. Dia ingin berkonsultasi soal giginya yang berdesakan serta sedikit protrusive (maju). Jason ingin merapikan gigi tersebut dengan cara memasang kawat (braces). Kepada dokter, dia berharap giginya bisa rapi dalam waktu singkat. Sebab, masa pendaftaran kepolisian kian dekat. "Dokter sanggup. Bahkan, dia menjanjikan gigi saya bisa rapi kurang dari setahun," tegasnya.

Supaya gigi atas dan bawah bisa rata, dokter menyatakan bahwa empat gigi Jason harus dicabut. Yaitu, gigi geraham depan (di belakang taring-premolar) atas-bawah dan kanan-kiri. "Ngeri juga. Saya baru kehilangan tiga gigi, lalu harus hilang empat lagi," katanya.

Setelah kawat gigi dipasang, berbagai gangguan mulai dia rasakan. Rahangnya nyeri berbulan-bulan. Giginya terasa goyang. Awalnya, Jason tak menghiraukan. Dia berpikir, rasa itu bisa hilang dalam beberapa hari.

Namun, alih-alih sembuh, kondisinya kian parah. Untuk membuka mulut pun, sulit. Kalau dipaksa, mulutnya hanya membuka selebar dua jari. Itu belum siksaan ketika dirinya mengunyah. "Sakit luar biasa," tegasnya.

Karena itu, Jason hanya bisa mengonsumsi makanan lunak. Misalnya, bubur atau nasi tim. Giginya pun tidak bisa berkompromi dengan lauk selain telur. "Saya hanya mengonsumsi telur selama hampir setahun," jelasnya.

Supaya tidak bosan, telur itu hanya diubah bentuk. Kalau tidak di goreng mata sapi, ya didadar. Sesekali juga mengonsumsi telur asin serta otak-otak.

Gara-gara itu, berat badan Jason berkurang empat kilogram. "Seperti orang kena penyakit parah. Padahal, hanya karena pasang kawat gigi," ujar lelaki yang mengaku mengeluarkan uang hingga Rp 12 juta untuk perawatan kawat gigi tersebut.

Bukan hanya itu, hidupnya pun semakin terasa tidak nyaman. Nyaris setiap hari dia mengalami mimpi buruk yang dipicu rasa sakit giginya. Lehernya juga terasa kaku, sehingga tidak bisa tidur nyenyak. "Rasanya seperti menghadapi bencana Lapindo yang tidak kunjung selesai," katanya berseloroh.

Sadar kondisinya semakin buruk, dia lantas berinisiatif datang ke FKG Unair untuk berkonsultasi.

Ketika diperiksa, dinyatakan bahwa kondisi Jason memang parah. Giginya miring dan goyang, gusinya pun bengkak. Malahan, ketika dipencet, gusi itu sampai mengeluarkan nanah. "Mungkin itu disebabkan dia tidak bisa membuka mulut lebar, sehingga tidak bisa menjaga kebersihan mulut dan gigi secara baik," jelasnya.

-- Kasus 2

Pengalaman pahit serupa dialami Nira (juga bukan nama asli) dua tahun lalu. Gara-gara menyerahkan perawatan kawat gigi ke dokter yang tidak tepat, dia harus kehilangan lima gigi. Memang, kondisinya tidak separah Jason. Namun, akibat pencabutan yang tidak diperlukan itu, giginya menjadi benggang-benggang (berjarak). "Saya jadi tidak bisa nyaman mengunyah. Lha gigi saya bogang," ungkap ibu muda tersebut.

Nira memang sempat menanyakan soal pencabutan giginya itu kepada sang dokter. Jawabannya sama, itu sudah prosedur pemasangan kawat.

Selain itu, sekitar enam bulan memakai kawat, hasilnya nihil. Itulah yang membuat dirinya semakin kalut. Dia khawatir giginya tidak bisa kembali normal. Akhirnya, wanita yang tinggal di kawasan tengah kota tersebut memutus tak lagi kontrol ke dokter itu.

Dia lantas datang ke FKG Unair dan disarankan ke klinik spesialis ortodonsi (orthodontics). "Untung, kata dokter, kondisi gigi saya masih bisa diperbaiki. Kalau tidak, mungkin profil wajah saya bisa menjadi cekung," tegasnya.

Nira terpaksa dirawat lagi mulai awal. "Melihat kondisi giginya, seharusnya dulu tidak perlu dicabut," jelas dokter yang sedang menyelesaikan studi spesialis ortodonsia tersebut.

Sebab, kondisi gigi Nira sejatinya tidak terlalu berdesakan. "Hanya dengan memasang kawat, gigi sudah bisa rapi sendiri," katanya.

Dari kejadian tersebut, Nira memang dirugikan secara fisik. Namun, dia juga merasa rugi waktu dan tentu materi. "Kalau saja saya langsung melakukan perawatan di dokter spesialis ortodonsi, mungkin saya tidak perlu dirawat hingga selama ini. Di tangan ahli yang tepat, bisa jadi gigi saya sudah rapi dalam setahun," ujarnya.

Keluhan-keluhan tersebut sangat sering dijumpai di Klinik Spesialis Ortodonsi Fakultas Kedokteran Gigi Unair maupun di praktik-praktik swasta para ortodontis di Surabaya.

Menurut drg Jusuf Sjamsudin Sp.Ort (K), ketua Ikorti (Ikatan Ortodontis Indonesia) Komda Jawa Timur, banyak orang yang tidak mengerti bahwa perawatan gigi yang tidak rata sebaiknya dilakukan oleh dokter gigi spesialis yang khusus, yaitu ortodontis (orthodontist). "Ortodontis adalah seorang dokter gigi yang menempuh pendidikan spesialisasi selama minimal empat tahun yang mempelajari khusus tentang perawatan kawat gigi," jelas ketua PDGI tersebut.

Yang sering terjadi di masyarakat, banyak perawatan kawat gigi dilakukan dokter gigi yang bukan spesialis ortodonsi. Hasil perawatannya jelas tidak sempurna, bahkan sering salah. "Apabila perawatan salah, akan lebih sulit dan lebih lama memperbaiki daripada sebelum dirawat," katanya.

Keywords: ortodonti, ortodontik, ortodonsia, ortodontis, orthodonti, orthodontic, orthodontist, maloklusi, malocclusion, crowded, tooth, teeth, oklusi, occlusion.

No comments: